SOLO BASAHAN
Tata rias dan busana yang begitu klasik dan bernilai estetika tinggi. Begitulah bagaimana banyak orang melihat tata rias pengantin solo basahan dengan mata telanjang. Namun, tidak hanya nilai estetika yang ingin disampaikan melalui tata rias dan busana pengantin adat solo basahan. Setiap detailnya memiliki nilai filosofis yang tinggi. Ladies, tidakkah Anda penasaran dengan sejarah tata rias tersebut?
Berdasarkan mandarpaes.blogspot.com, tat arias pengantin Solo basahan berasal dari Karaton Surakarta Hadiningrat. Tata rias dan busana pengantin Solo basahan adalah bentuk tata rias tertinggi dalam Karaton Surakarta Hadiningrat. Pada zaman dahulu, tata rias tertinggi hanya boleh digunakan oleh putra-putri Sultan, Sunan, atau Raja yang bertahta. Namun, sekarang tata rias ini dapat digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat Jawa sehingga banyak yang ingin mengenakannya karena terlihat agung, anggun, dan artistik.
Tata rias dan busana Solo basahan dikenakan pada waktu akad nikah sampai upacara “Panggih” Pengantin dengan menggunakan kain batik dengan warna dasar tertentu, misalnya warna hijau “Gadung Mlati” dengan moti alas-alasan yang diprada (dilukis dengan air emas). Hiasan rambut tak ketinggalan, ada cundhuk mentul atau kembang goyang yang bermotif hewan dan bunga-bungaan.
Menurut nationalgeographic.co.id, terciptanya busana pengantin ini diperkirakan setelah adanya Perjanjian Giyanti dimana waktu itu seluruh gaya busana dari Keraton Surakarta Hadiningrat dibawa ke Keraton Yogyakarta Hadiningrat sebagai hadiah dari Susuhan Paku Buwono II kepada putranya, Pangeran Mangkubumi. Setelah peristiwa itu, Keraton Surakarta Hadiningrat membuat desain (gagrak) baru dengan pola bergaya barat. Biasanya busana baru ini kita kenal dengan nama beskap, langenharjan, baju teni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar